Selasa, 23 April 2013

Abdullah Tuasikal, Pemimpin Berciri Pseudo-Demokratis


Janganlah Kabupaten/Kota Lain Dibuat Lebih Parah Oleh Tuasikal

“Pseudo berarti palsu, pura-pura. Pemimpin semacam ini berusaha memberikan kesan dalam penampilannya seolah-olah dia demokratis, sedangkan maksudnya adalah otokrasi, mendesakkan keinginannya secara halus. Tipe kepemimpinan pseudo-demokratis ini sering juga disebut sebagai pemimpin yang memanipulasikan demokratis atau demokratis semu.”

SIAPA yang tidak mengenal Abdullah Tuasikal, Calon Gubernur Maluku 2013-2018, dan juga mantan Bupati Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) selama 2 periode  sejak 2002 hingga 2012. Di era kepemimpinannya pula, Istrinya Mirati Dewaningsih Tuasikal, ST bisa melenggang ke Senayan menjadi Anggota DPR RI periode 2009-2014 dari Partai Kebangkitan Bangsa. Berkat Tuasikal pula, kakak kandungnya sendiri Abua Tuasikal bisa terpilih menjadi Bupati Malteng periode 2012-2017.
Itulah Tuasikal, politisi yang tidak pernah “kapok” walau sudah pernah kanvas di Pemilukada Maluku 2008 lalu namun masih tetap saja ingin mencalonkan diri. Walau Aturan tidak membatasi niatnya (Tuasikal) untuk maju sebagai Calon Gubernur Maluku, namun rakyat Maluku sangat tahu dengan jelas rekam jejak seorang Abdullah Tuasikal saat menjabat sebagai Bupati Malteng.
Kini dengan menggandeng Hendrik Lewerissa sebagai pendampingnya di Pemilukada 2013, Tuasikal maju dengan memakai slogan BHINEKA TUNGGAL IKA. Slogan yang sangat melekat di setiap warna Negara Kesatuan Republik Indonesia, temasuk di Maluku. Pasalnya Bhineka Tunggal Ika adalah kalimat yang ada pada Lambang Negara kita yang bermakna "Berbeda-beda tetapi tetap satu".
Secara harafiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Kalimat Bhinneka Tunggal Ika sendiri merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.
Namun pertanyaanya, apakah Tuasikal sungguh memaknai dan menghayati makna Bhineka Tunggal Ika itu ? ataukah slogan Bhineka Tunggal Ika hanya dipakai sebagai sebuah slogan yang sengaja ingin ditunjukan bahwa Tuasikal adalah sosok yang menghargai perbedaan, namun berbeda jauh dari Tuasikal yang selama ini dikenal banyak orang.
Cara dan tipe kepemimpinan Tuasikal yang berciri pseudo-demokratis itu seperti diplomatic manipulation atau manipulasi diplomatis. Jadi, pemimpin pseudo demokratis sebenarnya adalah orang yang pandai menutup-nutupi sifatnya dengan penampilan yang memberikan kesan seolah-olah ia demokratis. Inilah Tuasikal yang sebenarnya. Jika benar Tuasikal adalah seorang Pemimpin yang demokratis, maka pastinya 10 tahun kepemimpinannya (Tuasikal) sebagai Bupati Malteng bisa memberikan kesejahteran dan perubahan yang berarti di Malteng. Namun realitas yang kita jumpai berbeda jauh dari yang diharapkan. Malteng tetap menjadi kabupaten Tertua di Maluku yang tidak memiliki perubahan yang berarti.
Yang lebih parahnya lagi, Tuasikal ingin membangun dinasti Tuasikal di Malteng dengan tidak rela memberikan tongkat estafet Bupati Malteng kepada orang lain. Lagi-lagi Tuasikal berhasil membawa kaka kandungnya sendiri Abua Tuasikal menjadi Bupati Malteng setelah dirinya. Selain itu, sejumlah dugaan kasus-kasus korupsi yang rugikan Negara puluhan milyar seakan menjadi catatan hitam bagi Tuasikal yang dianggapnya biasa saja.
Kepemimpinan Maluku 5 tahun kedepan (2013-2018), Maluku butuh seorang Gubernur yang cerdas dan peka terhadap sejumlah persoalan yang di hadapi. Masih mandeknya PI 1% Blok Masela, Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional, Maluku sebagai provinsi termiskin Ke3 di Indonesia, Kesehatan, Pendidikan dan sejumlah permasalahan lainnya membutuhkan Gubernur yang mau bekerja sama dengan rakyat serta tidak mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya.
Pengalaman menjadi Bupati Malteng 2 Periode bukanlah menjadi jaminan bahwa Tuasikal layak menjadi Gubernur Maluku 2013-2018 mendatang. Jika Malteng 1 dekade tidak mengalami perubahan yang berarti, janganlah Maluku dengan 11 Kabupaten/Kota yang didiami 1,5 juta rakyat dibuat lebih parah lagi. (berbagai sumber)

1 komentar: