Sabtu, 20 April 2013

Jaksa Diminta Usut Dugaan Korupsi ULP PNS Rp 18 M SBB

Ambon - Dugaan penyelewengan terhadap keuangan negara di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) mulai mendapat perhatian kejaksaan meski bidikan korps baju cokelat itu baru sebatas kasus-kasus dengan nilai kerugian negara yang kecil. Padahal SBB diyakini merupakan sarang korupsi dengan tingkat kerugian negara berkisar ratusan miliaran rupiah.
Menyikapi kondisi demikian, pihak kejaksaan diminta untuk bersikap profesional dan proporsional sebab dengan begitu SBB sebagai kabupaten yang masih baru tidak dijadikan lahan untuk menggasak uang negara oleh para pejabat di kabupaten tersebut.
Setelah proyek air bersih di Desa Waipirit Kecamatan Kairatu Kabupaten SBB berhasil dibongkar Kejaksaan Negeri Cabang Piru, maka saatnya dugaan korupsi uang lauk pauk (ULP) PNS senilai Rp 18 miliar dan defisit Rp 60 miliar di Pemkab SBB juga harus diusut pihak kejaksaan. Tokoh Pemuda Kabupaten SBB Jonathan Kainama kepada wartawan di Ambon Sabtu (18/9) menandaskan, pihak kejaksaan tidak boleh tebang pilih dalam menjalankan tugasnya di Piru.
Menurutnya, ada banyak dugaan korupsi yang seharusnya dibidik oleh pihak kejaksaan baik itu melalui pemberitaan media maupun laporan masyarakat. Selama ini tandas Kainama intelijen kejaksaan tidak tajam untuk mencium aroma korupsi di kabupaten tersebut. “Bisa jadi jaksa tahu tapi sengaja abaikan atau bisa juga intelejen mereka tidak jalan sehingga berbagai pelanggaran yang mengarah kepada penyelewengan keuangan negara bebas terjadi di SBB,” jelasnya.
Dikatakan, keberhasilan kejaksaan mengungkap korupsi proyek air bersih di Kabupaten SBB belum dapat dikatakan prestasi. Sebab kasus yang dibidik korps adhyaksa itu tergolong kelas teri. “Korupsi di SBB ibarat penyakit yang sudah akut. Sangat jelas bagi jaksa penyakit korupsi itu nyata di depan mata tapi kok yang dibidik justeru kasus yang sebetulnya dikategorikan teri,” tandasnya.
Nilai kerugian negara yang timbul dari perbuatan korupsi dari proyek air bersih pun disebut Kainama sangat kecil dibandingkan kasus lain yang bernilai miliaran rupiah. Rakyat SBB ungkapnya sejak dimekarkan tahun 2003 sampai sekarang belum mengecap kesejahteraan justru pemekaran berbuah petaka karena yang menikmati hasil pemekaran itu adalah orang-orang yang tidak punya rasa ingin membangun bumi Saka Mese Nusa.
Menurutnya, implementasi dari suatu pemekaran tidak dijabarkan dalam konteks peradaban pembangunan SBB. Paradigma otoriter dengan mengesampingkan kepentingan umum kerap diterapkan di SBB.
Ironinya, berbagai penyelewengan yang nyata-nyata dilakukan dan sudah dilaporkan masyarakat seperti dugaan korupsi uang lauk pauk PNS di lingkup Pemkab SBB dan kasus-kasus lainnya terkesan diloloskan. “Jaksa harus konsekuen dalam menangani perkara korupsi di SBB jangan karena takut penguasa lalu bidik kasus-kasus kelas teri padahal kelas kakap dilindungi,” ungkapnya.
Persoalan keproyekan di SBB sebutnya jika jaksa serius banyak ditemukan bermasalah. Lima tahun pembangunan tidak jalan dengan baik namun tender hampir tiap tahun dilakukan. “Kalau diteliti ada banyak kasus proyek yang tidak selesai pengerjaannya asalkan jaksa mau berani mengungkap itu,” tantang Kainama. (S-32) 
(Sumber Berita: Siwalimanews, Senin, 20 September 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar