Janganlah
Kabupaten/Kota Lain Dibuat Lebih Parah Oleh Tuasikal
“Pseudo berarti palsu,
pura-pura. Pemimpin semacam ini berusaha memberikan kesan dalam penampilannya
seolah-olah dia demokratis, sedangkan maksudnya adalah otokrasi, mendesakkan
keinginannya secara halus. Tipe kepemimpinan pseudo-demokratis ini sering juga
disebut sebagai pemimpin yang memanipulasikan demokratis atau demokratis semu.”
SIAPA yang tidak
mengenal Abdullah Tuasikal, Calon Gubernur Maluku 2013-2018, dan juga mantan
Bupati Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) selama 2 periode sejak 2002 hingga 2012. Di era
kepemimpinannya pula, Istrinya Mirati Dewaningsih Tuasikal, ST bisa melenggang ke Senayan menjadi
Anggota DPR RI periode 2009-2014 dari Partai Kebangkitan Bangsa. Berkat Tuasikal
pula, kakak kandungnya sendiri Abua Tuasikal bisa terpilih menjadi Bupati
Malteng periode 2012-2017.
Itulah Tuasikal,
politisi yang tidak pernah “kapok” walau sudah pernah kanvas di Pemilukada Maluku
2008 lalu namun masih tetap saja ingin mencalonkan diri. Walau Aturan tidak
membatasi niatnya (Tuasikal) untuk maju sebagai Calon Gubernur Maluku, namun
rakyat Maluku sangat tahu dengan jelas rekam jejak seorang Abdullah Tuasikal
saat menjabat sebagai Bupati Malteng.
Kini dengan
menggandeng Hendrik Lewerissa sebagai pendampingnya di Pemilukada 2013,
Tuasikal maju dengan memakai slogan BHINEKA TUNGGAL IKA. Slogan yang sangat
melekat di setiap warna Negara Kesatuan Republik Indonesia, temasuk di Maluku. Pasalnya
Bhineka Tunggal Ika adalah kalimat yang ada pada Lambang Negara kita yang
bermakna "Berbeda-beda tetapi tetap satu".
Secara harafiah
Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna
meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu
kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya,
bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Kalimat Bhinneka
Tunggal Ika sendiri merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu
kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad
ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa
dengan umat Buddha.
Namun pertanyaanya,
apakah Tuasikal sungguh memaknai dan menghayati makna Bhineka Tunggal Ika itu ?
ataukah slogan Bhineka Tunggal Ika hanya dipakai sebagai sebuah slogan yang
sengaja ingin ditunjukan bahwa Tuasikal adalah sosok yang menghargai perbedaan,
namun berbeda jauh dari Tuasikal yang selama ini dikenal banyak orang.
Cara dan tipe kepemimpinan
Tuasikal yang berciri pseudo-demokratis itu seperti diplomatic manipulation
atau manipulasi diplomatis. Jadi, pemimpin pseudo demokratis sebenarnya adalah
orang yang pandai menutup-nutupi sifatnya dengan penampilan yang memberikan
kesan seolah-olah ia demokratis. Inilah Tuasikal yang sebenarnya. Jika benar
Tuasikal adalah seorang Pemimpin yang demokratis, maka pastinya 10 tahun
kepemimpinannya (Tuasikal) sebagai Bupati Malteng bisa memberikan kesejahteran
dan perubahan yang berarti di Malteng. Namun realitas yang kita jumpai berbeda
jauh dari yang diharapkan. Malteng tetap menjadi kabupaten Tertua di Maluku
yang tidak memiliki perubahan yang berarti.
Yang lebih parahnya
lagi, Tuasikal ingin membangun dinasti Tuasikal di Malteng dengan tidak rela
memberikan tongkat estafet Bupati Malteng kepada orang lain. Lagi-lagi Tuasikal
berhasil membawa kaka kandungnya sendiri Abua Tuasikal menjadi Bupati Malteng
setelah dirinya. Selain itu, sejumlah dugaan kasus-kasus korupsi yang rugikan Negara
puluhan milyar seakan menjadi catatan hitam bagi Tuasikal yang dianggapnya
biasa saja.
Kepemimpinan Maluku 5
tahun kedepan (2013-2018), Maluku butuh seorang Gubernur yang cerdas dan peka
terhadap sejumlah persoalan yang di hadapi. Masih mandeknya PI 1% Blok Masela,
Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional, Maluku sebagai provinsi termiskin Ke3 di
Indonesia, Kesehatan, Pendidikan dan sejumlah permasalahan lainnya membutuhkan
Gubernur yang mau bekerja sama dengan rakyat serta tidak mementingkan
kepentingan pribadi dan golongannya.
Pengalaman menjadi
Bupati Malteng 2 Periode bukanlah menjadi jaminan bahwa Tuasikal layak menjadi
Gubernur Maluku 2013-2018 mendatang. Jika Malteng 1 dekade tidak mengalami
perubahan yang berarti, janganlah Maluku dengan 11 Kabupaten/Kota yang didiami
1,5 juta rakyat dibuat lebih parah lagi. (berbagai
sumber)
Okee makasih gan infonya... sangat membantu..
BalasHapus