Ambon - Dugaan penyelewengan terhadap keuangan negara di Kabupaten Seram
Bagian Barat (SBB) mulai mendapat perhatian kejaksaan meski bidikan korps baju
cokelat itu baru sebatas kasus-kasus dengan nilai kerugian negara yang kecil.
Padahal SBB diyakini merupakan sarang korupsi dengan tingkat kerugian negara
berkisar ratusan miliaran rupiah.
Menyikapi kondisi
demikian, pihak kejaksaan diminta untuk bersikap profesional dan proporsional
sebab dengan begitu SBB sebagai kabupaten yang masih baru tidak dijadikan lahan
untuk menggasak uang negara oleh para pejabat di kabupaten tersebut.
Setelah proyek air
bersih di Desa Waipirit Kecamatan Kairatu Kabupaten SBB berhasil dibongkar
Kejaksaan Negeri Cabang Piru, maka saatnya dugaan korupsi uang lauk pauk (ULP)
PNS senilai Rp 18 miliar dan defisit Rp 60 miliar di Pemkab SBB juga harus
diusut pihak kejaksaan. Tokoh Pemuda Kabupaten SBB Jonathan Kainama kepada
wartawan di Ambon Sabtu (18/9) menandaskan, pihak kejaksaan tidak boleh tebang
pilih dalam menjalankan tugasnya di Piru.
Menurutnya, ada banyak
dugaan korupsi yang seharusnya dibidik oleh pihak kejaksaan baik itu melalui
pemberitaan media maupun laporan masyarakat. Selama ini tandas Kainama
intelijen kejaksaan tidak tajam untuk mencium aroma korupsi di kabupaten tersebut.
“Bisa jadi jaksa tahu tapi sengaja abaikan atau bisa juga intelejen mereka
tidak jalan sehingga berbagai pelanggaran yang mengarah kepada penyelewengan
keuangan negara bebas terjadi di SBB,” jelasnya.
Dikatakan,
keberhasilan kejaksaan mengungkap korupsi proyek air bersih di Kabupaten SBB
belum dapat dikatakan prestasi. Sebab kasus yang dibidik korps adhyaksa itu
tergolong kelas teri. “Korupsi di SBB ibarat penyakit yang sudah akut. Sangat
jelas bagi jaksa penyakit korupsi itu nyata di depan mata tapi kok yang dibidik
justeru kasus yang sebetulnya dikategorikan teri,” tandasnya.
Nilai kerugian negara
yang timbul dari perbuatan korupsi dari proyek air bersih pun disebut Kainama
sangat kecil dibandingkan kasus lain yang bernilai miliaran rupiah. Rakyat SBB ungkapnya
sejak dimekarkan tahun 2003 sampai sekarang belum mengecap kesejahteraan justru
pemekaran berbuah petaka karena yang menikmati hasil pemekaran itu adalah
orang-orang yang tidak punya rasa ingin membangun bumi Saka Mese Nusa.
Menurutnya, implementasi
dari suatu pemekaran tidak dijabarkan dalam konteks peradaban pembangunan SBB.
Paradigma otoriter dengan mengesampingkan kepentingan umum kerap diterapkan di
SBB.
Ironinya, berbagai
penyelewengan yang nyata-nyata dilakukan dan sudah dilaporkan masyarakat
seperti dugaan korupsi uang lauk pauk PNS di lingkup Pemkab SBB dan kasus-kasus
lainnya terkesan diloloskan. “Jaksa harus konsekuen dalam menangani perkara
korupsi di SBB jangan karena takut penguasa lalu bidik kasus-kasus kelas teri
padahal kelas kakap dilindungi,” ungkapnya.
Persoalan keproyekan
di SBB sebutnya jika jaksa serius banyak ditemukan bermasalah. Lima tahun
pembangunan tidak jalan dengan baik namun tender hampir tiap tahun dilakukan.
“Kalau diteliti ada banyak kasus proyek yang tidak selesai pengerjaannya
asalkan jaksa mau berani mengungkap itu,” tantang Kainama. (S-32)
(Sumber
Berita: Siwalimanews, Senin, 20 September 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar